Organisasi dalam Vihara

Vihara Svarnadipa Arama diketuai oleh Bhikkhu (sesuai dengan tradisi Theravada di manapun seluruh dunia).
Kepala Vihara : YM.Bhikkhu Santamano Thera
Wakil : Ym.Bhikkhu Indaguno

Didalam kegiatannya, vihara ditopang oleh beberapa organisasi yang tergabung dalam KBTI (Keluarga Buddhis Theravada Indonesia) :
1. Sangha Theravada Indonesia (STI)
Padesanayakkha : YM. Dr.Bhikkhu Khemanado Thera
Upapadesanayakkha : YM. Bhikkhu Indaguno

2. Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi)
Ketua PD : Pandita Madya Abdi Dhamma Utama Tjandra Eka Widjadja
Ketua PC : Pandita Muda Thomas,S.E.

3. Pemuda Theravada Indonesia (PATRIA)
Ketua DPD : Shandi

Disamping organisasi skala nasional, terdapat organisasi intern yang mengurus Vihara (Dayaka Sabha)
Ketua Dayaka Sabha : Pandita Tony Suwita.


Selasa, 10 Juli 2012

(73-74) Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga

Dhammapada
BAB V. BALA VAGGA – Orang Bodoh

(73)
Seorang bhikkhu yang bodoh,
menginginkan ketenaran yang keliru,
ingin didahulukan di antara para bhikkhu,
ingin berkuasa dalam vihara-vihara,
dan penghormatan dari perumahtangga.

(74)
"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini dilakukan olehku,
dan mematuhiku dalam semua hal, besar atau kecil"
demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu,
keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.

Dhammapada Atthakatha :

(73-74) Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga

Citta, seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan Mahanama Thera, salah seorang dari lima bhikkhu pertama (pancavaggiya), yang sedang berpindapatta, dan mengundang thera tersebut ke rumahnya.

Di sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut dan setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian, Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Di sana, ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya dan bhikkhu Sudhamma tinggal di tempat itu.

Suatu hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.

Kemudian, ia mengundang dua murid utama sang Buddha tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makan esok hari. Ia juga mengundang bhikkhu Sudhamma, tetapi beliau menolak dengan marah dan berkata, "Kamu mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut."

Citta mengulang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun demikian bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilahkan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan duduk karena dia sedang berpindapatta.

Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan berkata, "Aku tidak ingin tinggal di viharamu lagi!" dan meninggalkan rumah tersebut dengan penuh kemarahan.

Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi. Kepadanya, Sang Buddha berkata, "Kamu telah menghina seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu." Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, tetapi Citta belum mau memaafkannya. maka dia kembali menghadap Sang Buddha untuk ke dua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, "Anakku, seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, "ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku," dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Asataṃ bhāvanam iccheyya
Purekkhārañ ca bhikkhusu
āvāsesu ca issariyaṃ
pūjā parakulesu ca.

“Mam’ eva kata maññantu gihī pabbajitā ubho
Mam’ evātivasā assu kiccākiccesu kismici”
iti bālassa saṃkappo, icchā māno ca vaḍḍhati."

Seorang bhikkhu yang bodoh,
menginginkan ketenaran yang keliru,
ingin didahulukan di antara para bhikkhu,
ingin berkuasa dalam vihara-vihara,
dan penghormatan dari perumahtangga.

"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini dilakukan olehku,
dan mematuhiku dalam semua hal, besar atau kecil"
demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu,
keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.

Setelah khotbah dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta, dan pada saat itu mereka dapat berdamai. Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai tingkat kesucian arahat.

-------------------------------
Notes :
* Biasanya, sebelum mengundang bhikkhu lain, Citta akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan bhikkhu Sudhamma, kali ini tidak, bahkan bhikkhu Sudhamma diundang setelah mengundang kedua siswa utama tsb.

**Citta belum mau memaafkan karena Citta merasa bahwa bhikkhu Sudhamma masih belum menyadari penuh apa kesalahannya.

Tetapi, dalam komentar yang lain, penjelasannya sedikit berbeda: bhikkhu Sudhamma sudah mendekati tempat tinggal Citta, ia merasa sangat malu dan akhirnya berbalik pulang tanpa menemui Citta. Bhikkhu-bhikkhu yang lain bertanya kepadanya apakah ia telah meminta maaf, setelah mengetahui bahwa ternyata ia belum meminta maaf, melaporkannya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menyarankan agar seorang bikkhu lain menemani bikkhu Sudhamma meminta maaf. Akhirnya bhikkhu Sudhamma meminta maaf kepada Citta dan Citta memaafkannya. (Cv 1:18-24).

Rabu, 22 Februari 2012

Hidup Senang mati Tenang

Page 7
Buddha secara tegas memperingatkan untuk menentang keyakinan membuta dan mendorong jalan penyelidikan sejati.
Ia menunjukkan bahayanya menyandarkan kepercayaan kita semata mata atas dasar :
Desas desus, tradisi, kata orang banyak, kewenangan naskah kuno, sabda makhluk adi kodrati, atau karena rasa percaa kepada para guru, sesepuh, atau pendeta.
Ajaran Buddha harus dipertimabangkan dan diselidiki dengan menggunakan kejernihan Bathin yang lahir dari meditasi.

Diskusi Dhamma Bersama Bhikkhu Hemmanando

Hadiri Diskusi Dhamma ersama bhikkhu Hemmanando tanggal 10 maret 2012 di Vihara Svarnadipa Arama Pkl.19.00 Wib.

Rabu, 10 Agustus 2011

Hidup adalah dukkha

Hidup merupakan dukkha (istilah dalam bahasa Pali yang seringkali diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, kesedihan, kemalangan dan keputus-asaan), karena secara alamiah manusia dan juga dunia yang menjadi tempat tinggal manusia tidak sempurna. Selama masa hidup kita, kita tidak mungkin menghindari penderitaan secara fisik seperti rasa sakit, penyakit, luka, rasa lelah, usia tua dan bahkan kematian; dan kita juga harus menahan penderitaan secara rohani seperti rasa sedih, takut, frustasi, kecewa dan juga depresi.Walaupun terdapat perbedaan tingkat penderitaan dan juga ada pengalaman positif dalam hidup yang berkebalikan dengan penderitaan seperti rasa nyaman dan kebahagiaan, hidup kita benar-benar tidak sempurna dan lengkap, karena dunia kita ini tidak abadi. Artinya bahwa kita tidak dapat menjaga segala sesuatu selalu tetap, dan hanya sesaat saja kebahagiaan datang, kita dan semua yang kita cintai juga akan meninggal dunia suatu hari nanti.

Terjemahan "Life means suffering" dari http://www.thebigview.com/buddhism/fourtruths.html
Diterjemahkan oleh : Santoso Putra

The Four Noble Truths

Pagan, Myanmar
1. Life means suffering.
To live means to suffer, because the human nature is not perfect and neither is the world we live in. During our lifetime, we inevitably have to endure physical suffering such as pain, sickness, injury, tiredness, old age, and eventually death; and we have to endure psychological suffering like sadness, fear, frustration, disappointment, and depression. Although there are different degrees of suffering and there are also positive experiences in life that we perceive as the opposite of suffering, such as ease, comfort and happiness, life in its totality is imperfect and incomplete, because our world is subject to impermanence. This means we are never able to keep permanently what we strive for, and just as happy moments pass by, we ourselves and our loved ones will pass away one day, too.
2. The origin of suffering is attachment.
The origin of suffering is attachment to transient things and the ignorance thereof. Transient things do not only include the physical objects that surround us, but also ideas, and -in a greater sense- all objects of our perception. Ignorance is the lack of understanding of how our mind is attached to impermanent things. The reasons for suffering are desire, passion, ardour, pursuit of wealth and prestige, striving for fame and popularity, or in short: craving and clinging. Because the objects of our attachment are transient, their loss is inevitable, thus suffering will necessarily follow. Objects of attachment also include the idea of a "self" which is a delusion, because there is no abiding self. What we call "self" is just an imagined entity, and we are merely a part of the ceaseless becoming of the universe.
3. The cessation of suffering is attainable.
The cessation of suffering can be attained through nirodha. Nirodha means the unmaking of sensual craving and conceptual attachment. The third noble truth expresses the idea that suffering can be ended by attaining dispassion. Nirodha extinguishes all forms of clinging and attachment. This means that suffering can be overcome through human activity, simply by removing the cause of suffering. Attaining and perfecting dispassion is a process of many levels that ultimately results in the state of Nirvana. Nirvana means freedom from all worries, troubles, complexes, fabrications and ideas. Nirvana is not comprehensible for those who have not attained it.
4. The path to the cessation of suffering.
There is a path to the end of suffering - a gradual path of self-improvement, which is described more detailed in the Eightfold Path. It is the middle way between the two extremes of excessive self-indulgence (hedonism) and excessive self-mortification (asceticism); and it leads to the end of the cycle of rebirth. The latter quality discerns it from other paths which are merely "wandering on the wheel of becoming", because these do not have a final object. The path to the end of suffering can extend over many lifetimes, throughout which every individual rebirth is subject to karmic conditioning. Craving, ignorance, delusions, and its effects will disappear gradually, as progress is made on the path.

Taken From :  http://www.thebigview.com/buddhism/fourtruths.html

Jumat, 17 Juni 2011

Vihara Svarnadipa Arama

Vihara Svarnadipa Arama beralamat di Jl.Basuki Rahmat no.14 Teluk Betung Bandar Lampung. Merupakan Vihara Theravada yang ada di Bandar Lampung.